Rabu, 09 Desember 2009

HARTA RAMPASAN PERANG

HARTA RAMPASAN PERANG

Salab
yaitu pakaian, alat senjata, alat kendaraan dan alat-alat lainnya yang ada di tangan tentara musuh ketika ia di bunuh atau di tangkap.

Ghanimah
Secara harfiah, ghanimah berarti sesuatu yang diperoleh seseorang melalui suatu usaha. Menurut istilah, ghanimah berarti harta yang diambil dari musuh Islam dengan cara perang. Bentuk-bentuk harta rampasan yang diambil tersebut bisa berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, dan tawanan perang. Dilihat dari sejarah perang, kebiasaan ini telah dikenal sejak jaman sebelum Islam. Hasil peperangan yang diperoleh ini mereka bagi-bagikan kepada pasukan yang ikut perang tersebut, dengan bagian terbesar untuk pemimpin.Haram hukumnya menjual ghanimah (harta rampasan perang) sebelum dibagikan. Sebabnya ada dua:a. Yang berhak membagikan ghanimah adalah imam (pemimpin), tidak halalbagi siapa pun mengambil sesuatu darinya. Jika ia mengambilnya lalumenjualnya, maka perbuatan itu termasuk ghulul. Dan ghulul hukumnyaharam.b. Karena belum ada kepemilikan sebelum dibagikan. Sebab sebelumdibagikan, orang-orang yang berhak menerima ghanimah tidakmengetahui bagian mana yang bakal diberikan kepadanya. Jika ia menjualbagiannya sebelum dibagikan berarti ia telah menjual sesuatu yang majhul(tidak diketahui barangnya).
FA'I :
Yaitu harta yang di dapat dari orang yang tidak beragama islam dengan jalan damai (tidak berperang), pajak, bea, harta orang murtad, hadiah, dan lain-lain.ayat alqur'an surat al hasyr ayat 7 yang artinya:7. apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

JINAYAT

DEFINISI JINAYAT

Secara bahasa kata jinaayaat adalah bentuk jama’ dari kata jinaayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashbar (kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak. (Subulus Salam III: 231). Menurut istilah syar’i, kata jinaayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash atau membayar diat.
Pengertian Qishash
Menurut syaraâ’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.
Qishash ada 2 macam :
a. Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
b. Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.
3. Syarat-syarat Qishash
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
b. Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
c. Oran g yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
d. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
e. Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.
f. Orang yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa oran g kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ �(HR. Turmudzi dan Nasaâ’)
Pengertian Diat
Diyat ialah denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukuman bunuh.
a. Bila wali atau ahli waris terbunuh memaafkan yang membunuh dari pembalasan jiwa.
b. Pembunuh yang tidak sengaja
c. Pembunuh yang tidak ada unsur membunuh.
2. Macam-macam diyat
Diyat ada dua macam :
a. Diyat Mughalazhah, yakni denda berat
Diyat Mughalazhah ialah denda yang diwajibkan atas pembunuhan sengaja jika ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa serta denda aas pembunuhan tidak sengaja dan denda atas pembunuhan yang tidak ada unsur-unsur membunuh yang dilakukan dibulan haram, ditempat haram serta pembunuhan atas diri seseorang yang masih ada hubungan kekeluargaan. Ada pun jumlah diat mughallazhah ialah : 100 ekor unta terdiri 30 ekor unta berumur 3 tahun, 30 ekor unta berumur 4 tahun serta 40 ekor unta berumur 5 tahun (yang sedang hamil).
Diat Mughallazah ialah :
· Pembunuhan sengaja yaitu ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa.
· Pembunuhan tidak sengaja / serupa
· Pembunuhan di bulan haram yaitu bulan Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.
· Pembunuhan di kota haram atau Mekkah.
· Pembunuhan orang yang masih mempunyai hubungan kekeluargaanseperti Muhrim, Radhâ’ah atau Mushaharah.
· Pembunuhan tersalahdengan tongkat, cambuk dsb.
· Pemotongan atau membuat cacat angota badan tertentu.
b. Diyat Mukhaffafah, yakni denda ringan.
Diyat Mukhoffafah diwajibkan atas pembunuhan tersalah. Jumlah dendanya 100 ekor unta terdiri dari 20 ekor unta beurumur 3 tahun, 20 ekor unta berumur 4 tahun, 20 ekor unta betina berumur 2 tahun, 20 ekor unta jantan berumur 2 tahun dan 20 ekor unta betina umur 1 tahun.
Diyat Mukhoffafah dapat pula diganti uang atau lainya seharga unta tersebut. Diat Mukhoffafah adalah sebagai berikut :
· Pembunuhan yang tersalah.
· Pembunuhan karena kesalahan obat bagi dokter.
· Pemotongan atau membuat cacat serta melukai anggota badan.
3. Ketentuan-ketentuan lain mengenai diat :
a. Masa pembayaran diyat, bagi pembunuhan sengaja dibayar tunai waktu itu juga. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja atau karena tersalah dibayar selama 3 tahun dan tiap tahun sepertiga.
b. Diyat wanita separo laki-laki.
c. Diyat kafir dhimmi dan muâ’hid separo diat muslimin.
d. Diyat Yahudi dan Nasrani sepertiga diat oran g Islam.
e. Diyat hamba separo diat oran g merdeka.
f. Diyat janin, sepersepuluh diat ibunya, 5 ekor unta.
PENGERTIAN HUDUD
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) (Fiqhus Sunnah II: 302).
Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama (Manarus Sabil II: 360).

Penertian ta’zir adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir (selain had dan qishash), pelaksanaan hukuman ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannnya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.

Hukuman-hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat :
1. Hukuman mati
2. Hukuman Jilid
3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan
4. Hukuman Salib
5. Hukuman Pengecualian (Al Hajru)
6.Hukuman Denda (Tahdid)

Pengertian Kafarat
--Denda yang dibayarkan karena telah melakukan suatu kesalahan atau dosa. Kafarat ada tiga macam Kafarat Sumpah, Kafarat Pembunuhan, Kafarat Zhihar.
Kafarat atas sumpah adalah memberi makan 10 orang miskin dari makanan yang biasa kita makan atau pakaian atau membebaskan budak. Maka, siapa yang tidak memiliki sesuatu harta apapun, ia wajib berpuasa sebanyak tiga hari.
Pengertian QIYAS
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Dasar hukum qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi'ah.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat.
Rukun qiyas
Ada empat rukun giyas, yaitu:
1.Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
2.Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3.Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
4.'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.

Minggu, 18 Oktober 2009

USHUL FIQIH

Ushul Fiqih adalah ilmu hokum dalam islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terinci dalam rangka menghasilkan hukum islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut.

USHUL FIQIH :

1. Ilmu tentang kaidah & pembahasan yang dijadikan acuan dalam penetapan ahkam syar’iyyah mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terinci.
2. Kumpulan kaidah2 & pembahasan2 yang dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan ahkam syar’iyyah tentang perbuatan manusia berdasarkan dalil2 yang terinci.

Obyek Ushul Fiqih adalah dalil2 syar’I secara umum dilihat dari sisi ketetapan hukumnya secara umum, seperti : Qiyas & apa argumentasinya, mana dalil2 yang bersifat / menunjukkan hukum2 ‘aam (umum) & mana yang khash (khusus), mana dalil2 yang bersifat muthlaq (menyeluruh) & mana yang muqayyad (terbatas), mana dalil2 yang menunjukkan shighat-amr (perintah) & shighat2 yang menunjukkan nahyu (larangan), dst.

Sehingga tersusunlah kaidah2-ushuliyyah (kaidah2 dalam ilmu ushul fiqih) seperti :

1. AL-AMR LIL IJAB : Bahwa perintah itu menunjukkan wajib, seperti contoh kasus fiqhnya pada QS 5/1 (memenuhi janji adalah wajib).
2. AN-NAHYU LIT TAHRIM : Bahwa larangan itu menunjukkan haram, seperti contoh kasus fiqhnya pada QS 49/11 (tentang mengolok-olok suatu kaum adalah haram).
3. AL-AM YANTAZHIMU JAMI’A AFRADIHI QATH’AN (Bentuk umum mengumpulkan seluruh dalilnya menjadi umum secara qath’i), seperti contoh kasus fiqhnya pada QS 4/23 (haramnya menikahi semua ibu secara umum).
4. AL-MUTHLAQU YADULLU ‘ALAL FARDISY SYA’I BIGHAIRI QAYYID (Bentuk muthlaq menunjukkan pengertian umum yang tak terbatas), seperti contoh kasus fiqhnya pada QS 58/3 (kafarat zhihar adalah dengan memerdekakan budak secara muthlaq, baik budak tersebut muslim atau kafir).

FIQIH

1. Ilmu tentang ahlam syar’iyyah islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil2 secara tafshili (detail).
2. Kodifikasi ahkam syar’iyyah islam tentang perbuatan manusia yang diambil berdasarkan dalil2 secara detail.

Obyek Fiqih adalah perbuatan mukallaf (muslim/ah yang sudah baligh) dilihat dari sisi ketetapan ahkam syar’iyyah, seperti : bagaimana hukum2 untuk seorang muslim/ah melakukan ijarah, wakalah, hudud, wakaf, dsb.

Perbedaan antara Ushul Fiqih dan Fiqih :

1. Fiqih membicarakan perbuatan manusia dari dalil2 yang detil (terperinci) artinya langsung pada perbuatannya & langsung dalil2nya untuk setiap perbuatan tersebut.
2. Fiqih merupakan kumpulan ilmu & hukum2 tentang setiap perbuatan manusia yang langsung berkaitan dengan aspek2 khusus, sementara ushul fiqih membicarakan ilmu & hukum2 tentang acuan untuk pengambilan (istinbath) hukum2 fiqih secara umum. Jadi, jika di dalam fiqih dibicarakan bagaimana hukum hudud (pidana islam), ijarah (sewa-menyewa), wakaf, dsb ; maka dalam ushul fiqih dijelaskan tentang bagaimana hukum tersebut bisa termasuk amar (perintah), nahyu (larangan), ‘aam (umum), muthlaq (menyeluruh), dsb.

TUJUAN MEMPELAJARI FIQH DAN USHUL FIQIH :

1. FIQIH : Menerapkan hokum syari’at Islam atas semua tindakan & ucapan manusia, sehingga ia merupakan rujukan seorang qadhi untuk menghukum & mufti untuk berfatwa & mukallaf untuk melaksanakan huku syari’at.

2. USHUL FIQIH : Menerapkan kaidah2 untuk menghasilkan hokum syari’at yang diambil dari dalil2 tersebut, sehingga bias diistinbathkan qiyas, istihsan atau istishhab untuk hal yang tidak ada nash-nya, atau mengkomparasikan antara berbagai madzhab tentang suatu masalah.

Kamis, 03 September 2009

JINAYAT

JINAYAT

Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana.
Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, tau lainnya.

Selain itu, terdapat fuqoha' yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.


Sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.


> Ta'zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Penentuan jenis pidana ta'zir ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan kemaslahatan manusia.


Hukuman hukuman ta'zir antara lain:


1. Hukuman mati

2. Hukuman Jilid

3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)

4. Hukuman Salib

5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan

6. Hukuman Pengucilan (al Hajru)

7. Hukuman Denda (tahdid)

KESIMPULAN


Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam (Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan ta'zir.


Menurut hemat penulis, diantara jenis jenis hukuman ta'zir yang telah penulis kemukakan dalam pembahasan, tidak semuanya relevan untuk diterapkan pada zaman ini, seperti hukuman jilid dan salib karena dinilai sangat keji. Sementara mengenai hukuman mati dalam ta'zir, penulis sependapat dengan ulama' yang membolehkannya sepanjang sejalan dengan kemaslahatan manusia. Tetapi secara umum, mengenai jenis hukuman yang relevan untuk jarimah ta'zir ini harus disesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan agar hukuman dalam suatu peraturan bisa paralel. Untuk menentukan hukuman yang relevan dan efektif, harus dipertimbangkan agar hukuman itu mengandung unsur pembalasan, perbaikan, dan perlindungan terhadap korban (Theori neo-klasik), serta dilakukan penelitian ilmiyah terlebih dahulu.